Jumat, 28 Agustus 2015
(Hari 1)
Matahari sudah terasa menyengat walau jarum jam 'baru' menunjukkan pukul 8.30 pagi. Dua sejoli (duile, berasa Rhoma Irama - Yati Octavia) sudah ngejogrok dengan manisnya di sebuah ruang tunggu terminal B bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Sialnya, saya harus rela duduk di area smoking room sebab hanya itu deret kursi tersisa. Namun karena hati sedang berbunga-bunga, kepulan asap rokok para calon penumpang pesawat terasa hembusan nafas bidadari penjaga pintu surga.
|
Tidak nampak selebritis yang nongol barang sebiji pun |
Saya melirik dua koper butut yang menjadi travel mate setia selama ini. Yang berukuran agak besar tentunya berisi pakaian, perabotan lenong (baca : alat mekap), dan gerombolan penutup onderdil alias 'daleman' (hush!). Sedangkan koper yang size nya lebih kecil, memuat amunisi rahasia yang dalam mempersiapkannya diselimuti dengan doa-doa dan jampi-jampi penangkap mimpi. Inilah isi salah satu koper maut tersebut:
|
Selain milik pribadi, ada beberapa buku milik teman yang dititipkan untuk dimintakan ttd penulisnya |
"Ah...Belitung, seperti apa elok parasmu? Semlohai binti bohay kah wujudmu?"
Pertanyaan norak kembali muncul. Lenyap segala kantuk yang menyergap karena saya harus bangun jam setengah empat pagi untuk mandi dan berangkat menuju Jogja satu jam kemudian. Untung suami saya partner yang sangat responsif, cepat, dan akurat (lho, kok kaya tagline alat tes kesuburan?). Perkara bangun pagi, mandi kilat, dan disiplin pada jadwal yang ketat bukanlah kendala berat.
Kami menyempatkan sarapan pagi di sebuah warung soto di tepi jalan utama kabupaten Klaten. Tidak lupa menutupnya dengan mengkonsumsi 1 butir vitamin penjaga daya tahan tubuh. Entah mungkin karena ketularan suami yang sempat sakit atau malah karena grogi, beberapa hari lalu setelah membaca pengumuman di website Bentang Pustaka, saya malah demam tinggi! Bahkan disusul dengan kemunculan kroni-kroninya berupa hidung meler dan batuk. Inilah nukilan pengumuman keramat tersebut :
|
Gara-gara woro-woro inilah, badan saya mendadak lungkrah |
Jujur, saya malah tidak menyangka jika kesempatan bertemu Andrea Hirata juga diberikan oleh panitia. Bisa diajak jalan-jalan gratis ke Belitung saja sudah luar biasa. Apalagi sampai dipertemukan dengan penulis idola. Wahai para panitia Bentang Pustaka, sejahteralah dikau selama-lamanya!
Untuk keberangkatan ke Yogyakarta, suami bersikeras tidak 'menyewa' driver demi alasan kepraktisan (dan penghematan). Ternyata, tarif parkir inap mobil di bandara Adi Sucipto cukup terjangkau. Biayanya Rp. 30.000/ malam. Jaminan keamanan 24 jam plus bonus senyum ramah petugasnya, bukankah paduan sempurna?
Ini penampakan odong-odong tercinta sesaat sebelum kami bergegas menuju Terminal B.
|
Baek-baek ye, Tong . Nyak mau heping pan dulu. |
Tak lama, datangalah mbak-mbak cantik (mbak Avee dan Mbak Diah) dari Bentang Pustaka yang akan mendampingi kami selama di Belitong. Wah, senangnya. Ternyata kami sepantaran alias sama-sama besar di era 90-an! Dan, baru sadar juga bahwa (untuk sementara) suami saya akan menjadi satu-satunya pejantan dalam perjalanan. Bhihihihik...
|
Tebak-tebak berhadiah. Yang mana mba Avee? Yang mana mba Diah?
Yang mana Ariel NoaH? |
Tim Bentang sangat kooperatif dan helpful. Selama proses check in hingga boarding, saya dan suami jauh dari kata repot. Sesuai flight schedule, kami akan menumpang maskapai Sriwijaya Air SJ-231 tujuan Jakarta (transit) dan dilanjutkan dengan Sriwijaya Air IN -9192 untuk penerbangan menuju bandara H.AS Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Seharusnya, pesawat dijadwalkan take off pukul 10.30 WIB dan landing di Jakarta 1 jam kemudian. Namun, seperti yang jamak terjadi, pesawat mengalami delay. Alhasil ketika sampai di Jakarta, kami kejar-kejaran dengan waktu.
Untunglah, Tuhan bersama orang-orang kece. Kami berempat bisa terbang dengan sukses. Jarak Jakarta - Pulau Belitung ditempuh selama 60 menit. Saat burung besi mendarat di Tanjung Pandan, saya menunduk dalam-dalam sembari berbisik hingga suami sempat menoleh perlahan, "Tuhan, terimakasih. Saya tak pernah meragukan janji-MU..."
Suasananya lengang dan menyenangkan
Foto di depan tulisan ini semacam protap wajib ya, buk.
Matahari hampir tergelincir saat kaki ini menjejak di bumi Laskar Pelangi. Ternyata, di sana saya kembali bertemu saudara baru. Mbak Ditta Sekar Campaka (Bentang Pustaka Jakarta) dan kedua orang tuanya yang ramah dan masih sangat energik! Ibu Ella dan Pak Sukri yang berdomisili di kota Bogor. Tim jalan-jalan pun bertambah. Makin seru dan heboh!
Kami (tujuh orang) dijemput oleh Bang Didi, driver merangkap guide yang cukup populer di Belitong. Konon menurut sahibul hikayat, hanya Bang Didi satu-satunya driver yang memiliki contact person Andrea Hirata. Widiiih, kurang keren apa coba?!! Dalam mobil Avanza biru metalik, cacing dalam usus mulai menggeliat manja. Tidak satupun dari kami yang malu mengakui kalau lapar. Ya iyalah hehehe. Awalnya kami ingin menikmati MIE ATEP untuk santap siang. Namun ternyata warung makan legendaris itu sudah terlanjur tutup.
|
Tugu Satam yang fenomenal |
Baiklah pemirsa, setelah mengelilingi Tugu Satam, mobil pun melaju ke kawasan Tanjung Pendam Beach. Kami memilih Warung Seafood Bang Pasha sebagai ajian pamungkas untuk menidurkan naga di perut yang kian mengganas (lebay ye!). We are ready to eat!
|
View dari lokasi warung makan
Sumpah, bumbu rempahnya bikin nagih!
Sebagai maniak seafood, suka banget sama cuminya. Empuk dan tidak alot.
KON-SEN-TRA-SI! |
Menjelang sore, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Tanjung Kelayang dan menyeberang ke Pulau Lengkuas. Untuk menjangkau pulau yang terkenal dengan keberadaan mercusuar peninggalan Belanda di tahun 1882 itu, tim Bentang telah menyewa sebuah perahu motor. Sensasi perahu yang bergoyang dipermainkan ombak, batu-batu granit unik tersusun rapi di sepanjang mata memandang, dan gradasi warna laut yang memanjakan membuat 60 menit perjalanan terasa sekejap saja.
|
Baru nyadar kalau kami tidak pakai pelampung.
Yang penting cihuy!
Sepanjang jalan eh laut kenangan.... |
Saat perahu mendarat di bibir pantai berpasir putih berhias air berwarna jernih, saya yakin, Tuhan pasti sedang tersenyum saat menciptakan Pulau Lengkuas. Bagi para pecinta snorkeling, pantai yang mengitarinya adalah destinasi wisata bawah laut yang pantang dilewatkan. Dan inilah keriangan saya di salah satu kepingan surga itu:
|
Sesaat setelah mendarat |
|
Happy dapat sandal jepit Swallow yang matching sama baju.
What a fashion statement! Hihihi |
|
Batu-batunya fotogenik banget, ya?! |
|
Bapak ini kalau pose selalu unpredictable! |
Mercusuar bercat putih setinggi 50 meter itu tidak sedikit pun kehilangan kegagahannya. Hingga saat ini, mercusuar tersebut masih difungsikan sebagai penuntun lalu lintas kapal laut yang singgah maupun keluar masuk Pulau Belitung. Sayangnya, ketika kami tiba, mercusuar sedang direnovasi bagian dalamnya jadi terpaksa kami tidak bisa merasakan sensasi menaiki tangga menara. Semoga suatu saat nanti saya bisa memboyong keluarga besar untuk kembali ke sini. Aamiin...
|
The legendary lighthouse of Lengkuas Island
|
Menjelang Maghrib, kami sudah bersiap meninggalkan eksotisme Pulau Lengkuas. Kapal pun melaju menuju Pantai Tanjung Kelayang. Sunset yang membalut perjalanan sontak menghadirkan nuansa syahdu dan romantis. Imaji saya pun hanyut terbawa suasana....
****
Sesuai informasi dari panitia, di malam pertama kami akan menginap di rumah penduduk di kampung Gantong. Sebuah area yang kini populer luar biasa karena Andrea Hirata dan lahir dan besar di sana. Mbak Ditta juga menyampaikan bahwa tempat kami menginap nanti letaknya hanya beberapa meter dari Museum Kata dan berdekatan dengan rumah Andrea Hirata. Di desa Gantong memang belum ada hotel atau Guest House yang representatif. Namun untungnya sudah banyak penduduk setempat yang memfungsikan tempat tinggal mereka sebagai homestay. Saya makin excited. Sungguh kesempatan dan pengalaman tak tergantikan bisa merasakan degup masyarakat Gantong walau hanya sehari saja. Bisa ikut membayangkan bagaimana rasanya jadi Ikal, menghirup udara yang sama dengan A Ling, dan merasakan air yang sama dengan air yang digunakan mandi Arai. Isn't it interesting?!
Sedang enak-enaknya dua jam melamun (etdah, lama amat?), mobil yang dikendarai Bang Didi berhenti di sebuah rumah makan di jalan Pasar no. 85, Lenggang, Belitung. Namanya Rumah Makan "GAYA BARU". Sepanjang kawasan jalan Pasar inilah syuting Laskar Pelangi banyak mengambil adegan.
Saya memanjakan lidah dengan memesan Pampi Goreng, semacam kwetiau khas Belitong. Sedangkan suami yang belum merasa makan kalau perut belum diisi nasi, memesan Nasi Goreng. Surga-nya seafood memang layak disandang Belitong, selain julukan-julukan populer lainnya. Wahai saudara sebangsa dan setanah air, lihatlah penampakan berikut:
|
Sekilas mie ini serupa dengan mie pada umumnya
Namun saat permukaan Pampi sedikit tersingkap, gerombolan 'harta karun' pun mencuat. Daging Kepiting, Boi!
Di Belitong, penjual makanan tidak pelit menyajikan kepiting sebagai pelengkap hidangan.
Potongannya mantap. Bukan hanya sekedar suwiran, Kawan! |
|
Teh cap Bendera. |
Jarum jam bertengger di angka 9 saat mobil yang kami tumpangi berhenti. Malam terlihat cukup pekat walau sinar bulan purnama menggeliat. Ternyata mobil parkir di samping Museum Kata. Jadi nyolong start deh mengamati fasad museum di malam hari. Tim Bentang menyediakan 2 homestay. Saya, suami, mbak Avee, dan mbak Diah menempati rumah yang sama, tepatnya selisih satu bangunan dari Museum Kata. Sedangkan mbak Ditta dan ortu menempati rumah lainnya. Karena lumayan gelap, saya tidak bisa leluasa memotret saat itu juga.
Well, saatnya beristirahat. Setelah mandi dan menghabiskan bergayung-gayung air (kapan lagi? mumpung gratis!), saya dan suami pun melepas penat. Kami menempati sebuah kamar berukuran 2x3 meter yang walau dindingnya sederhana, tapi sudah dilengkapi dengan spring bed yang empuk dan nyaman. Selamat malam, Gantong. Have a nice sleep, everyone...
Sabtu, 29 Agustus 2015
(Hari 2)
Pagi hari sebelum trip dilanjutkan, saya sempat merekam sapa hangat kampung Gantong.
|
Penginapan alias homestay kami, merangkap pula sebagai kantor KPUD.
Wow! |
|
Jika menemukan tulisan ini, di kampung Gantong berarti rumah tersebut sah digunakan sebagai penginapan. |
|
Jalan kecil di samping penginapan
Ruas jalan di depan homestay kami,
Di belakang bangunan putih itu, terdapat rumah Andrea Hirata. Warna cat-nya Pink!
Maaf tidak bisa saya posting di sini karena takut melanggar privacy. Hehehe.
|
Pukul 08.00 wib, kami memulai ekspolarasi Wisata Laskar Pelangi dengan mengunjungi Museum Kata Andrea Hirata. Sengaja kami 'blusukan' di pagi hari agar bebas menguliti sisi sejarah Laskar Pelangi dan leluasa menjelajahi setiap sudutnya yang instagram-able! Jika tiba di siang hari , museum sastra satu-satunya di Indonesia ini bakal sesak dijejali pengunjung. Tidak hanya wisatawan domestik saja yang tertarik datang ke museum yang berlokasi di Jalan Laskar pelangi no. 7, Gantong, Belitung Timur. Para turis mancanegara pun tersedot rasa penasaran akan pesonanya.
Saya betah berlama-lama mengabadikan keunikan lay out bagian depan museum. So colorful!
Saatnya mengeksplorasi bagian dalam Museum Kata dan nikmati kejutannya :
Keasikan mengagumi betapa briliannya ide pendirian Museum Kata sejenak terhenti. Kami diagendakan untuk menjelajahi sudut kampung Gantong. Dengan membonceng sepeda motor milik penduduk setempat (kebetulan saya dibonceng bang Sandy, sepupu Andrea Hirata) kami pun membelah jalan Gantong yang lengang menuju Warung Kopi A Kiong. Yeaay!
Masuk ke warung kopi yang terletak di kawasan pasar Gantong, ibarat memasuki laboratorium perilaku, seperti yang cerdas dikupas Andrea dalam novel "Cinta Dalam Gelas". Bahkan, seperti yang tertulis dalam "Buku Besar Peminum Kopi" milik Ikal, kondisi psikologis dan tabiat seseorang bisa dideteksi dari jenis kopi yang dipesan dan cara memegang gelas.
Bersua dengan pria, tua muda, dengan secangkir kopi mungil (dibandingkan dengan gelas kopi yang biasa saya gunakan di rumah) yang mengepulkan aroma nikmat. Terlihat sosok A Kiong yang tak henti mengumbar senyum. Saya memesan kopi susu dan suami, seperti biasa, kopi hitam. Mbak Ditta menawarkan mie sebagai teman menyeduh kopi. Saya tak kuasa menolak (jiaah...bilang aja laper!). Hmmm...mie goreng pedas dan kopi susu pun tak sampai 15 menit tandas. Bang Sandy, yang asyik ngobrol dengan pak Sukri, berkomentar bahwa dari cara kami meminum kopi, terlihat jelas bahwa kami adalah pendatang atau wisatawan. "Orang sini kalau minum kopi bisa berjam-jam. Lama ngobrol. Tapi kalau ada yang minum kopi tidak sampai 10 menit dan gelas sudah kosong, itu pasti pendatang." Hehehehe...iya juga ya.
|
Jujur, sebenarnya pengen nambah secangkir lagi.
Bersama A Kiong yang ramah namun sedikit pemalu
|
Melihat bapak-bapak sedang asyik mengobrol, mbak Ditta mengajak kami (saya, mbak Avee, dan mbak Diah) untuk berjalan-jalan menyusuri pasar Gantong. Tujuan pertama sebuah sungai yang hampir selalu disebut dalam novel-novel Andrea Hirata terutama tetralogi Laskar Pelangi. Ingat saat Ikal mencoba 'membangunkan' perahu lanun yang terkubur ratusan tahun di dasar sungai dengan menerapkan 'Dalil Lintang' dalam novel Maryamah Karpov ? Andrea Hirata juga menuliskan nama sungai ini sebagai judul mozaik 15 buku Sang Pemimpi.
Inilah..., Sungai Linggang :
Sebelum kembali ke homestay, tim Bentang mengajak mampir lagi ke Museum Kata. Kebetulan kios souvenir sudah buka sehingga saya bisa membeli beberapa pin untuk oleh-oleh fans Laskar Pelangi di kantor dan t-shirt The Rainbow Troops. Rencananya t-shirt tersebut mau saya mintakan ttd Andrea Hirata jika bertemu nanti.
Ternyata benar, semakin siang, museum semakin dijejali pengunjung. Bahkan terlihat mobil patroli polisi parkir di muka. Saya menikmati keriangan rombongan turis dari Australia dan Jepang yang sedang asyik menyeduh kopi dan menikmati makanan kecil di area Kupi Kuli. Merinding. Begitu populernya Museum Kata ini...
Tiba-tiba, sesosok wanita paruh baya berjalan mendekat. Ia menawarkan apakah saya berminat mengirim kartu pos untuk orang yang spesial. Disodorkannya kartu pos bergambar Museum Kata. "Nanti perangkonya dari sini, Kak. Tinggal dimasukkan saja ke kotak surat. Insha Allah seminggu sampai kalau tujuan dalam negeri." ujarnya ramah sambil mempersilakan saya duduk. Biaya kartu pos dan perangko cukup Rp. 15.000,-. Wah, saya jelas tidak mau melewatan momen sentimentil seperti ini. Nostalgia jaman musim sahabat pena dulu. Hehehe...
Sesuai jadwal, kami harus bersiap-siap untuk trip selanjutnya. Saya dan suami kembali ke homestay untuk packing karena nanti malam kami akan stay di Tanjung Pandan. Saat melihat ke cermin, saya shock sejadi-jadinya. Woaaaaa...wajah saya jadi gosong mirip dakocan plus bruntusan parah! Huhuhu...ternyata kulit saya terlalu sensitif . Dua bulan ini saya memang sedang melakukan detoksifikasi wajah untuk mengeluarkan racun dan toksin dalam bentuk purging/ jerawat. Praktis, karena sedang proses detoks, saya tidak memakai aneka krim, baik itu krim malam maupun krim pagi. Karena hanya boleh memakai pelembab wajah, tidak heran betapa mudah terkena sunburn. Sambil meringis saya menatap getir penampakan saya yang legam. Suami mencoba menghibur, "Ga papa, nanti kan bisa diobati dan dicerahkan lagi. Kalau susah putih, bayclean di rumah masih dua botol!"
****
Setelah semua anggota tim hore memasuki mobil, perjalanan pun dilanjutkan. Wohooo!! Pertama, kami mengunjungi replika sekolah Laskar Pelangi. Matahari bersinar terik dan sangat cerah. Inilah rekam lensanya :
Tujuan berikutnya adalah makan siang di Pantai Penyabong. Yes, we will have another seafood, guys! Untuk mencapai pantai indah yang terletak di kecamatan Membalong tersebut, kami menempuh pejalanan selama 70 km atau 1,5 jam dari Tanjung Pandan. Akses infrastuktur cukup bagus. Jalan sudah beraspal dan sangat lengang. Mobil kami jarang menyalip atau berpapasan dengan mobil lainnya. Sepanjang perjalanan, kebun kelapa sawit adalah pemandangan yang mendominasi.
Menurut informasi, wilayah Membalong dulunya sedikit terisolir dan tertinggal bila dibandingkan dengan daerah Belitong lainnya. Hal ini dikarenakan Membalong bukanlah daerah penghasil timah. Namun di tahun 1990, terjadi kenaikan harga komoditas lada yang dibarengin dengan pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kehidupan masyarakat Membalong pun berangsur membaik secara ekonomi.
Lokasi makan siang berupa pondok yang menghadap batu granit raksasa dan pantai yang cantik. Sambil menunggu hidangan tersaji (terimakasih Tim Bentang sudah memesan kepiting lezat hehehe), saya berjalan menyusuri pantai yang relatif sepi ini.
Puas 'menghajar' kepiting berbalut sambal yang pedasnya dahsyat, selepas shalat Dhuhur, perjalanan dilanjutkan menuju Danau Kaolin. Wah, akibat terlalu memanjakan perut, saya disergap kantuk. Bahkan ketika mobil bang Didi sampai di tujuan, saya masih tertidur pulas. Saat bangun-pun masih nge-blank. Ketika mbak Diah meminta bantuan saya untuk memotret, justru tatapan bengong yang ia dapatkan. Hihihi. Untung jet-lag nya tidak terlalu lama. Subhanallah..., Danau Kaolin luar biasa memukau. Inilah INDONESIA...:
Magnet Danau Kaolin membuat saya takjub. Bahkan wajah yang makin gosong terpapar limpahan sinar matahari pun tidak lagi membuat saya galau. Sedang enak-enaknya berpose centil di tepi danau, mba Ditta memanggil. Informasi darinya membuat saya kaget. Andrea Hirata sudah menunggu di Lor In Hotel! Wuaaaaa....
Saya cek penampilan. Astaga, my worst perfomance ever! Sudah gosong, jilbab bau kepiting (tidak sempat ganti), berkeringat, kumal, dan kucel. Semoga pak cik nanti tidak pingsan melihat acakadutnya penampilan saya. Huahahahhaa!
Sungguh beruntung saya mengajak pasangan. Koper yang beratnya ngaujubileh karena berisi belasan novel tebal, terasa ringan saja di tangan suami. Bang Andrea sebenarnya harus segera check sound untuk perform di stage pamungkas festival Laskar Pelangi. Namun beliau tetap meluangkan waktu untuk menemui fans nya ini. So sweet....
Sambil ngobrol ringan, saya sempat memberikan souvenir berupa sarung goyor, kerajinan unggulan dari Kabupaten Sragen. Tak lupa buka koper maut pun dibuka di tengah orang-orang yang sedang bergerombol. Sepintas, saya mirip tukang obat yang buka lapak!
|
Andrea itu ramah banget.
Gue? Kucel banget! hahahaha |
|
Koper yang tergeletak manja |
|
Pesan pak cik, "Jaga baik-baik koleksinya ya. Langka itu."
|
|
CD Laskar Pelangi juga di tandatangani mbak Meda
|
|
T-Shirt yang juga ditandatangani
|
|
Mission Accomplished |
Setelah 'harta karun' sukses mendapatkan bukti 'pengakuan' dari empunya, saya pun melanjutkan trip dengan kelegaan yang lebih dari sebelumnya. Next destination adalah mengejar sunset di Pantai Tanjung Tinggi.
Malamnya, sebelum menuju penginapan, kami mampir ke Warung Mie Atep. Tuntas sudah rasa penasaran.
Puas menikmati sensasi kuliner ala Mie Atep, rombongan pun menuju ke penginapan. Namun sempat mampir dulu ke pusat oleh-oleh.
Malam terakhir di Belitung, kami stay di Rahat Icon Hotel yang berlokasi di jalan Jl. Depati Rahat No. 21, Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Uniknya, hotel ini menempel pada mini market dan game zone. Cocok banget untuk penginapan keluarga. Selain kamar dan ruangannya cozy, pemiliknya juga sangat ramah. Bahkan ikut membantu mengangkat koper saya yang segede gaban menuju lantai III.
Minggu, 30 Agustus 2015
(Hari 3)
Pukul 07.00 pagi, rombongan sudah kembali berada di dalam mobil yang melaju kencang dikendarai Bang Didi. Wah, space mobil semakin penuh karena tumpukan oleh-oleh yang kami bawa. Hihihi, kapan lagi. Mumpung di Belitung, kan?!
Bye Belitong. Semoga bisa bersua kembali :)
***
Terimakasih Tuhan atas rejekinya.
Terimakasih Bentang Pustaka untuk kesempatannya.
Terimakasih Mbak Avee, mbak Diah, dan mbak Ditta untuk pengalaman dan persahabatannya.
Terimakasih Bu Ella dan Pak Sukri untuk teladannya.
Terimakasih Andrea Hirata untuk inspirasinya....
Terimakasih pacar untuk pendampingannya :*