JULI 2015
Entah sudah sejak kapan kebiasaan ‘ini’ menyatu menjadi rutinitas. Tiap masuk ke ruangan pimpinan, baik untuk keperluan menyerahkan berkas, mengecek form disposisi, atau hanya menyalakan pendingin ruangan, mata saya selalu mengamati lekat-lekat benda ini :
Sebuah vandel acrylic
dari Pemkab Belitung Timur yang diberikan sebagai kenang-kenangan saat instansi tersebut mengunjungi kantor UPTPK Sragen, selalu sukses membuat saya merinding. Jujur, bukan bentuk uniknya yang membuat terpana, namun lebih karena ada foto anak-anak ‘Laskar Pelangi’ di sana...
Bagi saya, nama Belitung (Belitong) seakan menjadi candu
sejak tiga tahun lalu. Tentu sangat terlambat jika berpatokan dengan booming film Laskar Pelangi di tahun 2008. Semakin lama, keinginan untuk menjejakkan kaki ke Negeri Surga Batu Granit makin tidak terbendung. Impian melakukan honeymoon
trip hingga piknik keluarga sudah berapa ratus kali mampir di pikiran tanpa malu-malu. Jika sedang kumat 'gilanya', saya sering melakukan simulasi yakni dengan ‘pura-pura’
sibuk googling memilih travel agent yang menyediakan paket liburan ke Belitung
ataupun paket wisata Laskar Pelangi, mengecek harga tiket pesawat
Solo-Jakarta-Belitung PP, memilih penginapan yang eksotis, hingga browsing tempat wisata
kuliner khas Belitong. Namun, setelah dihitung-hitung, ternyata tabungan saya jauh dari kata ‘aman’.
Huhuhuhu. Balada PNS daerah yang hidupnya pas-pasan seperti saya. Harus menunggu gaji ke 13 'hanya' untuk sekedar traveling. Bisa bulan madu setahun sekali saja sudah
alhamdulillah ya, Buk (itu aja dengan catatan, kalau suami tidak sedang dalam
penugasan pengamanan ke daerah konflik).
Tahun ini, saya sudah pasrah mengubur keinginan untuk
melakukan honeymoon trip karena adanya penugasan pengamanan di institusi suami. Walapun suami kali ini tidak
ikut tugas, namun tetap saja sulit mendapatkan ijin cuti. Dari awal
menikah, saya sih sudah berharap bisa setahun sekali mengajak suami plesiran. Kasihan, suami paling mentok jalan-jalannya cuma ke hutan atau ke gunung buat latihan perang. Nasibmu, pakne...
Setelah honeymoon ke Bali di tahun 2013, tepat tahun ketiga pernikahan (ceritanya ada di sini), sebenarnya saya berharap bisa ke Belitung di tahun 2014 kemarin. Namun ternyata, suami justru ingin liburan ke Bandung gara-gara penasaran dengan Trans Studio (bocorannya di sini). Dan saya pun kembali menelan ludah. Belitung masih saja sebatas angan..
Setelah honeymoon ke Bali di tahun 2013, tepat tahun ketiga pernikahan (ceritanya ada di sini), sebenarnya saya berharap bisa ke Belitung di tahun 2014 kemarin. Namun ternyata, suami justru ingin liburan ke Bandung gara-gara penasaran dengan Trans Studio (bocorannya di sini). Dan saya pun kembali menelan ludah. Belitung masih saja sebatas angan..
Bicara mengenai besaran SHPKB (Skala Hasrat Pengen Ke Belitung), untuk kisaran 1-10, saya berada di grade 11, 5. Mendengar kata Belitung saja, jantung ini terasa mpot-mpotan, mata berkunang-kunang, dan otot kejang-kejang. Konon, gejala yang saya alami ini lebih gawat ketimbang ditagih arisan PKK di penghujung bulan! Oh..., I HATE YOU ANDREA HIRATA!!
Ini beberapa bukti otentik jejak saya di sosmed yang mendukung teori di atas.Pulau Belitung bukan hanya obsesi, tapi pertaruhan harga diri. (apasik?!)
Atasan saya yang lain pernah membesarkan hati. "Mbak Andien sabar dulu ya. Suatu saat kalau sudah waktunya (mungkin maksudnya kalau sudah jadi pejabat), pasti bisa ke Beltim". Dan saya hanya bisa mengamini dalam hati. Pernah juga membayangkan andai pak Ahok (Gubernur DKI yang notabene asli Belitong) menggagas kompetisi menulis untuk PNS se-Indonesia yang hadiahnya dibayarin jalan-jalan ke Belitung, cihuy juga ya kalau bisa ikutan dan menang?
Ternyata, apa yang dikatakan Amiru kepada Sabari memang terbukti (yang gagal paham berarti belum baca novel AYAH. Hayo ngaku!). "Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika Tuhan akan berhenti menghitung." Setelah penantian panjang, kesempatan untuk berjudi dengan nasib akhirnya tiba. Pada pertengahan bulan Juli di penghujung bulan puasa, mata ini nyaris terpelecat gara-gara membaca info lomba menulis "Surat Untuk Ayah" di akun twitter @bentangpustaka :
Hadiah yang tertera membuat saya mengalami goncangan jiwa. Pa-ket Li-bu-ran ke BE-LI-TUNG! Sengaja dieja biar lebih dramatis.
Salah satu syarat sah-nya surat yang dikirim adalah kewajiban menyertakan bukti pembelian novel AYAH. Laah, untung struk-nya masih saya simpan. Padahal biasanya sih paling malas menyimpan segala jenis bukti pembelian karena menuh-menuhin dompet. Apakah ini sebuah pertanda, duhai Baginda Sulaiman penguasa Ottoman?
Mungkin karena surat yang saya tulis adalah murni pengalaman pribadi bersama papa tercinta, proses menulisnya terasa mengalir lancar. Hanya 15 menit disela-sela mengetik Nota Dinas. Setelah saya print out, saya pun mendistribusikannya ke 4 teman kantor untuk dibaca. Pura-puranya mereka itu proofreader. Jika mereka bilang 'okay', berarti tidak perlu editing. Namun jika mereka bilang surat saya tidak menyentuh, maka dengan senang hati akan saya revisi. Alhamdulillah, 3 dari 4 proofreader dadakan tersebut sukses bersimbah air mata. Bukan karena terharu, melainkan sakit hati karena tertundanya kenaikan gaji!
Tahapan yang cukup mendebarkan bagi saya adalah bagaimana cara mengemas surat agar menarik dan mendapat prioritas untuk dibaca terlebih dahulu. Bahasa Sragen-nya " to grab the judges's attention." Saya YAKIN seyakin-yakinnya, surat yang masuk ke panita pasti banyak. Baik itu dari Laskar Andreanis, sastra adict, pembaca militan novel Andrea Hirata, maupun dari para traveller. Dengan kemampuan menulis di bawah standar kelayakan penulis profesional plus penguasaan diksi yang ala kadarnya, jika saya nekat mengirim surat dengan kertas sobekan tengah buku tulis cap Banteng serta dibungkus amplop air mail warna putih, dijamin melirik pun panitia tak sudi! Itulah kenapa dalam leaflet juga tercantum kalimat yang menyatakan bahwa surat sebaiknya dibuat sekreatif/ semenarik mungkin. Bagi saya, surat ini tidak hanya sekedar materi curahan hati namun juga TIKET untuk mewujudkan mimpi!
Dan, setelah merenung duduk terpekur di atas jamban, saya pun akhirnya mencoba mengirimkan surat dengan kobaran harapan.
19 AGUSTUS 2015
Saya ingat, malam itu adalah malam di mana Sherazat dan puteranya, Kaan, sedang diajak jalan-jalan oleh tuan Onur di sebuah ranch horse farm. Tuan Onur terlihat gelisah ingin menyatakan betapa ia berniat menikahi Sherazat. Pukul 10 malam di minggu ketiga bulan Agustus, Sherazat masih saja jual mahal. Saat jeda pariwara, iseng saya membuka akun twitter untuk mengecek notifikasi. Ada 6 pemberitahuan muncul malu-malu.
Dan, atap asrama yang bolong-bolong karena dimakan rayap seolah runtuh saat saya membaca salah satu postingan yang menyeruak dari deretan notikasi.
Dheg..., jantung saya melorot beberapa detik! Tapi tiba-tiba, mencuat lagi ke atas gara-gara ingat satu hal. Sebentar...pemenangnya kan tidak hanya satu. Ada pemenang utama dan ada pemenang favorit. Saya masuk yang mana? Jangan GR dulu, buk!
Disaat rasa pesimis menyergap tanpa ampun, hembusan angin surga datang tiba-tiba melalui sebaris kalimat :
Ini beberapa bukti otentik jejak saya di sosmed yang mendukung teori di atas.Pulau Belitung bukan hanya obsesi, tapi pertaruhan harga diri. (apasik?!)
Atasan saya yang lain pernah membesarkan hati. "Mbak Andien sabar dulu ya. Suatu saat kalau sudah waktunya (mungkin maksudnya kalau sudah jadi pejabat), pasti bisa ke Beltim". Dan saya hanya bisa mengamini dalam hati. Pernah juga membayangkan andai pak Ahok (Gubernur DKI yang notabene asli Belitong) menggagas kompetisi menulis untuk PNS se-Indonesia yang hadiahnya dibayarin jalan-jalan ke Belitung, cihuy juga ya kalau bisa ikutan dan menang?
Ternyata, apa yang dikatakan Amiru kepada Sabari memang terbukti (yang gagal paham berarti belum baca novel AYAH. Hayo ngaku!). "Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika Tuhan akan berhenti menghitung." Setelah penantian panjang, kesempatan untuk berjudi dengan nasib akhirnya tiba. Pada pertengahan bulan Juli di penghujung bulan puasa, mata ini nyaris terpelecat gara-gara membaca info lomba menulis "Surat Untuk Ayah" di akun twitter @bentangpustaka :
Hadiah yang tertera membuat saya mengalami goncangan jiwa. Pa-ket Li-bu-ran ke BE-LI-TUNG! Sengaja dieja biar lebih dramatis.
Salah satu syarat sah-nya surat yang dikirim adalah kewajiban menyertakan bukti pembelian novel AYAH. Laah, untung struk-nya masih saya simpan. Padahal biasanya sih paling malas menyimpan segala jenis bukti pembelian karena menuh-menuhin dompet. Apakah ini sebuah pertanda, duhai Baginda Sulaiman penguasa Ottoman?
Mungkin karena surat yang saya tulis adalah murni pengalaman pribadi bersama papa tercinta, proses menulisnya terasa mengalir lancar. Hanya 15 menit disela-sela mengetik Nota Dinas. Setelah saya print out, saya pun mendistribusikannya ke 4 teman kantor untuk dibaca. Pura-puranya mereka itu proofreader. Jika mereka bilang 'okay', berarti tidak perlu editing. Namun jika mereka bilang surat saya tidak menyentuh, maka dengan senang hati akan saya revisi. Alhamdulillah, 3 dari 4 proofreader dadakan tersebut sukses bersimbah air mata. Bukan karena terharu, melainkan sakit hati karena tertundanya kenaikan gaji!
Tahapan yang cukup mendebarkan bagi saya adalah bagaimana cara mengemas surat agar menarik dan mendapat prioritas untuk dibaca terlebih dahulu. Bahasa Sragen-nya " to grab the judges's attention." Saya YAKIN seyakin-yakinnya, surat yang masuk ke panita pasti banyak. Baik itu dari Laskar Andreanis, sastra adict, pembaca militan novel Andrea Hirata, maupun dari para traveller. Dengan kemampuan menulis di bawah standar kelayakan penulis profesional plus penguasaan diksi yang ala kadarnya, jika saya nekat mengirim surat dengan kertas sobekan tengah buku tulis cap Banteng serta dibungkus amplop air mail warna putih, dijamin melirik pun panitia tak sudi! Itulah kenapa dalam leaflet juga tercantum kalimat yang menyatakan bahwa surat sebaiknya dibuat sekreatif/ semenarik mungkin. Bagi saya, surat ini tidak hanya sekedar materi curahan hati namun juga TIKET untuk mewujudkan mimpi!
Dan, setelah merenung duduk terpekur di atas jamban, saya pun akhirnya mencoba mengirimkan surat dengan kobaran harapan.
19 AGUSTUS 2015
Saya ingat, malam itu adalah malam di mana Sherazat dan puteranya, Kaan, sedang diajak jalan-jalan oleh tuan Onur di sebuah ranch horse farm. Tuan Onur terlihat gelisah ingin menyatakan betapa ia berniat menikahi Sherazat. Pukul 10 malam di minggu ketiga bulan Agustus, Sherazat masih saja jual mahal. Saat jeda pariwara, iseng saya membuka akun twitter untuk mengecek notifikasi. Ada 6 pemberitahuan muncul malu-malu.
Dan, atap asrama yang bolong-bolong karena dimakan rayap seolah runtuh saat saya membaca salah satu postingan yang menyeruak dari deretan notikasi.
Dheg..., jantung saya melorot beberapa detik! Tapi tiba-tiba, mencuat lagi ke atas gara-gara ingat satu hal. Sebentar...pemenangnya kan tidak hanya satu. Ada pemenang utama dan ada pemenang favorit. Saya masuk yang mana? Jangan GR dulu, buk!
Disaat rasa pesimis menyergap tanpa ampun, hembusan angin surga datang tiba-tiba melalui sebaris kalimat :
Am I dreaming?
Tuhan...akhirnya Engkau berhenti menghitung....
Bersambung ke Bagian 2
menyentuh sanubariku..
BalasHapusWah...terimakasih berkenan mampir, say
BalasHapusTernyata dirimu... D best (y)
BalasHapusTernyata dirimu... D best (y)
BalasHapusTernyata dirimu... D best (y)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWuaaaa ada Bunda Raheesh. Makasih sayangku udah berkenan mampir :)
BalasHapuswoww keren banget mbaksay itu surat untuk ayahnya, kreatif, menarik hati banget, isi suratnya gak dipublish nih?
BalasHapusHalo dear Lian Novi. Makasih udah mampir. Masih ragu-ragu, enaknya di publish ga ya? wkwkwk...akyu maluuu
BalasHapusPublish dong mbak Surat Untuk Ayah nya..
BalasHapusAku bacanya juga penuh debaran nih,hahah..
Kerenn eh.. rajin ngeblog dong mbaksay, biar Aku rajin ngeliwir ke blogg post nya mbak. Aku bakal SUBCRIBE :D :D
Halo sayank, request terpenuhi. Sudah daku published ya. Mwuaach
HapusMbak, cerita kita mirip yah, aku juga selalu berdesir ketika kata 'Belitong, Laskar Pelangi, Andrea Hirata' , mampir ditelingaku. Jujur mbak, aku juga sering nangis kalo lagi nemu apapun yang berhubungan dengan Belitong, termasuk postingan mbak yang satu ini. Oh iya, aku juga ikutan lomba #SuratUntukAyah loh mbak :) Mbak jahat yah, ngalahin aku -_- hehehe tapi kalo liat suratnya mbak, emang suratku nggak ada apa2nya dibanding punya mbak. Semoga Tuhan juga segera berhenti menghitung untukku ya mbak, semoga Tuhan segera memeluk mimpiku. Aamiin :) -mohon di aamiinkan juga mbak hehe
BalasHapusHalo dear mba Eka, makasih udh mampir di sini. Wah, cerita kita serupa ternyata mba. Iya, say. Daku sebelumnya juga sering mewek kl liat/ baca tentang Belitong. Lebay ya? Begitulah. Semoga kesampaian ya say. Bisa menjelajahi Negeri Laskar Pelangi. Aamiin...:*
Hapus