Selasa, 08 September 2015

"SURAT UNTUK AYAH"









Assalamualaikum Wr.Wb

Ayahanda, bagaimana kabar Ayah di sana? Ananda berdoa semoga Ayah selalu sehat dan tidak kekurangan suatu apapun. Aamiin.

Ayah, lebaran baru saja berlalu, namun tetap saja menyisakan rindu. Bahagia tak terkira, ananda akhirnya dapat sungkem kepada Ayah di hari Idul Fitri pertengahan Juli. Ah, andai Ayah di sini, tentu rasa sepi tidak akan menggerogoti. Ditanah rantau ini, ananda tidak bisa setiap saat mendengar derai tawa Ayah, menikmati denting piano dari jemari Ayah, juga merasakan pelukan Ayah yang begitu menenangkan.

Ananda rindu, Ayah. 
Sangat rindu.
Rindu hal-hal sederhana yang tidak pernah ananda sadari saat masih tinggal bersama Ayah dahulu. Kini, semuanya terasa candu! Bahkan, suara batuk jika Ayah terlalu banyak merokok-pun membuat rindu. Delapan tahun terpisah ratusan kilometer dari Ayah, tetaplah bukan hal mudah untuk ananda jalani. Apakah Ayah juga merasakan hal yang sama?

Ah, Ayah.
Ananda ingat. Binar mata itu…
Binar mata yang memendarkan bahagia saat ananda tiba. Pelukan hangat dari tangan Ayah masih sama. Senyum dari bibir Ayah pun masih sama. Tidak peduli usia yang semakin senja, wajah yang mulai keriput dan menua, atau rambut yang kini memudar warnanya, bagi ananda  Ayah tetaplah pria terhebat dan tergagah yang pernah ada! Pria yang bekerja keras untuk tidak mengecewakan istri dan anak-anaknya. Pria yang selalu memberikan kehangatan untuk keluarga tercinta. Pria yang sampai saat ini belum dapat ananda wujudkan impian kebahagiaannya.

Ingatkah Ayah saat ananda berpamitan merantau? Betapa dahulu ananda risau. Berbeda dengan Ibunda yang berulang kali bersimbah air mata, Ayah justru terlihat datar saja. Sempat terbersit suudzon bahwa ayah bahagia dengan kepergian ananda.

Namun, ananda keliru.
Ibunda pernah bercerita, hati ayah sangat hancur berpisah dengan putri kesayangannya. Tiap malam Ayah sering terbangun dan baru bisa terlelap setelah tidur di kamar ananda. Tahun pertama kepergian ananda, senyum ayah seolah lenyap begitu saja. Ayah sering tiba-tiba terdiam saat memainkan lagu kesukaan ananda melalui anggun denting piano. Ah, Ayah…, maafkan ananda yang berburuk sangka!

Ayah, ananda berdoa semoga ananda bisa kembali bersama ayah. Semoga takdir bermurah hati mendekatkan ananda di sisi ayah, seperti dulu…

Di surat ini ananda kirimkan pula kartu untuk merawat kenangan. Juga puisi yang dianggit oleh penulis favorit kita berdua, Andrea Hirata. Semoga ayah anda berkenan.

Percayalah Ayah,
Sejauh apapun diri ini terbang, Ayah-lah alasan untuk pulang.

Wassalamualaikum, Wr.Wb.



Sragen, 30 Juli 2015


Peluk rindu ananda,

(Andiena)






**Surat ini pernah saya ikut sertakan dalam kompetisi menulis #SuratUntukAyah yang dihelat penerbit Bentang Pustaka.**



























4 komentar:

  1. Kereeenn...sediiihh..inget bapakku jugaaa

    BalasHapus
  2. persis banget dengan ayahku,, saat aku pertama merantau dahulu, tahun 1986. Datar tanpa emosi. Saat aku pulang pertama kali, Ayah memeluk dan menciumi pipiku sambil menimang "anakku pulang,, anakku pulang". Kami larut dalam tangis bahagia berbalut kerinduan. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat yang sebaik-baiknya di sana. Aamiin,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..aamiin sayankku..
      Duh, jadi terharu aku say

      Hapus